Rabu, 13 November 2013

BAB 2 ANALISA KASUS


Kasus pengeboman merupakan kasus yang melanggar Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pasal 1 nomor 1 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1] HAM / Hak Asasi Manusia menurut ajaran agama Katolik adalah hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan, ciptaan Allah.[2] Dari dua pengertian tersebut, dapat kami simpulkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki oleh semua orang sejak lahir sebagai ciptaan Allah.

Hal-hal yang telah menjujung HAM adalah adanya usaha evaluasi korban setelah kejadian dan usaha pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan pada saat gereja digunakan lagi agar tidak terulang hal yang sama. Polisi juga berusaha untuk menemukan pelaku pengeboman agar ia dapat diadili dengan layak dan sepantasnya atas kesalahan yang telah diperbuat olehnya.

     2.1. Paparan Kasus
Ada beberapa kasus pengeboman yang sempat menyita perahtian bangsa kita. Yang pertama adalah kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. Satu ledakan keras terjadi seusai kebaktian di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, di Jalan Arif Rachman Hakim, Solo. Satu tewas akibat ledakan di dalam kompleks gedung gereja itu, yang diduga juga merupakan pelaku peledakan itu.

Sumber di Kepolisian Daerah Jawa Tengah, di Solo, Minggu, menyatakan, berdasarkan penelusuran di lokasi kejadian, peristiwa ledakan itu terjadi sekitar pukul 10.55 WIB. "Kami masih melakukan penelusuran di sana, belum bisa diketahui motif dari peristiwa itu, termasuk juga identitas pelakunya," kata sumber itu.

Selain satu orang yang telah dipastikan tewas di tempat, ledakan bahan peledak itu menciderai beberapa jemaat lain yang berada di lokasi.

Informasi yang dihimpun menyatakan, di sekitar kawasan gereja itu terdapat pula satu gereja Katholik. Kini kawasan itu dalam status terlarang untuk dilalui masyarakat umum, garis polisi telah dipasang dan satu tim Gegana Kepolisian Daerah Jawa Tengah telah digerakkan untuk melakukan olah TKP.[3]

Kasus berikutnya adalah kasus bom Bali pada tahun 2002. Pada 12 Oktober 2002, dua bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu pukul 23.05 WITA dan pukul 23.15 WITA. Pada pukul 23.05 WITA, lebih dari 200 orang menjadi korban tewas keganasan bom itu, sedangkan 200 lebih lainnya luka berat maupun ringan. Sedangkan bom yang meledak pada pukul 23.15 WITA, tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.[4]

Kasus terakhir adalah kasus peledakan enam gereja, yaitu Gereja Katedral Jakarta, Gereja Kanisius, Gereka Oikumene Halim, Gereja Santo Yosep, Gereja Koinonia Jatinegara, dan Gereka Anglikan. Kasus itu terjadi pada malam Natal tahun 2000. Kasus itu terjadi karena adanya konflik di Ambon yang tak kunjung berhenti. Umar Patek menjadi dalang dalam pengeboman gereja tersebut. Beliau berpikir, dengan adanya pengeboman 6 gereja di Jakarta tersebut, maka konflik di Ambon akan berhenti.[5]

     2.2. Analisis Kritis atas Kasus
Menurut Emile Durkheim, terdapat empat jenis bunuh diri, yaitu:
1. Bunuh diri egoistis (egoistic suicide)
ð Bunuh diri egoistis, yaitu bunuh diri yang merupakan akibat dari kurangnya integrasi dalam kelompok. Misalnya, lebih banyak orang Protestan yang bunuh diri dari pada orang Katolik. Sebab orang Katolik lebih terikat pada komunitas keagamaan sedangkan dalam Protestan terdapat anjuran yang kuat untuk bertanggung jawab secara individual. Kenyataan ini dinyatakan secara tepat sekali di dalam rumusan bahwa seorang Protestan dipaksa untuk bebas.

2. Bunuh diri anomi (anomie suicide)
ð Anomi adalah suatu situasi dimana terjadi suatu keadaan tanpa aturan, dimana kesadaran kolektif tidak berfungsi. Jenis bunuh diri ini terjadi dalam waktu krisis dan bukannya krisis ekonomi saja. Bunuh diri ini juga terjadi bilamana sekonyong-konyong terjadi kemajuan yang tidak terduga.

3. Altruistic Suicide
ð Altruistic Suicide adalah bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat. Bunuh diri ini sifatnya tidak menuntut hak, sebaliknya memandang bunuh diri itu sebagai suatu kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat.

4. Bunuh diri fatalistik
ð Bunuh diri fatalistik merupakan lawan dari bunuh diri anomi, dan yang timbul dari pengaturan kelakuan secara berlebih-lebihan, misalnya dalam rezim yang sangat keras dan otoriter.[6]

Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.[7] Berdasarkan rumusan ”National Advisory Committee” (Komisi Kejahatan Nasional Amerika) dalam The Report of the Task Force of the on Disorders and Terrorism, macam-macam terorisme yaitu:

1. Terorisme politik yaitu perilaku kekerasan kriminal yang dirancang untuk menumbuhkan rasa ketakutan di kalangan masyarakat demi kepentingan politik.

2. Terorisme non politis yakni mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan cara kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi.

3. Quasi terorisme, yakni terorisme yang tidak memiliki muatan ideologi tertentu, tetapi lebih untuk tujuan pembayaran. Contohnya adalah seperti dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan di mana para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada motivasi politik.

4. Terorisme politik terbatas, diartikan sebagai teroris yang memiliki motif politik dan ideologi, tetapi lebih ditujukan dalam mengendalikan keadaan (negara). Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam.

5. Terorisme negara atau pemerintahan yakni suatu negara atau pemerintahan, yang mendasarkan kekuasaannya dengan ketakutan dan penindasan dalam mengendalikan masyarakatnya.[8]

Dari teori Emil Durkheim di atas, dapat disebutkan bahwa jenis bunuh diri yang dilakukan pelaku bom bunuh diri tersebut adalah bunuh diri egoistis, karena ia mementingkan kepentingan kelompok terorisnya sendiri, yaitu melaksanakan perjuangan Islam. Sedangkan dari teori macam-macam terorisme di atas, dapat disebutkan bahwa pelaku telah melakukan terorisme non politis, karena ia lebih mementingkan kepentingan pribadi dengan cara melakukan kekerasan. Meskipun kekerasan itu tertuju untuk dirinya, tetapi para jemaat di gereja tersebut juga menjadi korban akibat bom bunuh diri yang telah dilakukannya.

Pierre Rehov yang merupakan pembuat enam film dokumenter tentang Intifada Palestina, menyimpulkan bahwa pelaku bom bunuh diri dan teroris pada umumnya tidak harus selalu terkait dengan isu kemiskinan atau pendidikan yang rendah. Rehov mendeskripsikan kepribadian pelaku bom yaitu umumnya adalah anak-anak berusia antara 15-25 tahun, menanggung beraneka macam ”kompleks”. Mereka telah dijejali ajaran-ajaran agama. Umumnya tidak memiliki kepribadian yang berkembang dengan baik dan idealis-idealis yang mudah kagum.[9]

Menurut Milgram dalam teorinya yang bernama Teori Kepatuhan Milgram, sebagian dari pelaku bom bunuh diri rela mati demi kejaayaan syariah. Artinya, dalam situasi tertentu di mana kematian menjadi syarat untuk membela Islam, mereka tidak akan ragu-ragu untuk melakukannya, di mana peran seseorang sebagai anggota kelompok lebih penting daripada kepentingan individualnya sampai sanggup mengumpulkan kepercayaan diri untuk melakukan bom bunuh diri.[10]

Ternyata, peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh tersebut terkait dengan pelaku yang bernama Ahmad Yosepa Hayat, yang selama ini masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) polisi dalam kasus bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra, Cirebon pada tanggal 15 April 2011 dan dilakukan oleh Muhammad Syarif. Dari kedua peristiwa pengeboman di Cirebon dan Solo, diketahui bahwa pelaku merupakan satu kelompok yang berasal dari Cirebon. Keduanya pernah bergabung dengan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) di bawah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir.[11] Faktanya adalah profesi pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh tersebut tidak jelas, walaupun diketahui dia adalah yang merakit bom bunuh diri dari Muhammad Syarif.[12]

Dampak positif bagi pelaku dari kasus bom bunuh diri gereja di Solo yaitu tidak ada karena pelaku sudah meninggal pada saat itu juga, sedangkan bagi masyarakat yaitu bisa lebih waspada agar tidak terulang kasus seperti itu. Dampak negatif bagi pelaku dari kasus bom bunuh diri gereja di Solo yaitu pelaku bom bunuh diri meninggal di tempat saat dia mengebom sehingga tidak menanggung hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, sedangkan bagi masyarakat yaitu mengganggu ibadat yang sedang dilaksanakan dan membuat masyarakat menjadi risau dan takut.

     2.3. Pemecahan Masalah
Menurut kelompok kami dalam kasus ini sebenarnya adalah kasus ketidakadilan, karena pelaku telah melanggar hukum. Untuk menegakkan keadilan, maka harus ditegakkan hukum yang berlaku untuk pelaku, karena pelaku termasuk jaringan terorisme. Hal ini berdasarkan teori Prof. Notonegoro, yang mengatakan bahwa ”Keadilan akan terjadi jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.” Jadi, sebenarnya pelaku harus diberi hukuman sesuai ketentuan. Namun, karena pelaku sudah meninggal, maka hukum itu ditegakkan untuk para pelaku teroris yang lain, supaya tidak terjadi hal yang serupa. Aturan hukum yang berlaku untuk pelaku teroris adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Sejak adanya bom Bali, maka diberlakukan Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme, sehingga setelah bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh juga akan diberlakukan Undang-Undang itu untuk memberantas jaringan terorisme.

Dengan adanya kasus pengeboman gereja tersebut, maka keluarga pelaku pengeboman dan polisi berperan dalam pengendalian konflik tersebut. Keluarga pelaku harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut yang menyebabkan luka-luka pada beberapa korban, sedangkan polisi berperan untuk menenangkan keadaan setelah terjadinya pengeboman gereja tersebut, serta mencari apa yang dapat mempengaruhi pelaku untuk melakukan bom bunuh diri tersebut.




[2] Kristianto, Yoseph, dkk.2011. Menjadi Murid Yesus untuk SMA/K Kelas XI.Jakarta:Kanisius. (Sabtu, 9 November 2013)
[8] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37047/4/Chapter%20I.pdf (Jumat, 8 November 2013)
[9] Sarwono, Sarlito Wirawan.2012.Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi.Kairo:Alvabet. (halaman 60-61) (Rabu, 13 November 2013)

[10] Sarwono, Sarlito Wirawan.2012.Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi.Kairo:Alvabet. (halaman 51) (Rabu, 13 November 2013)

[12] Sarwono, Sarlito Wirawan.2012.Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi.Kairo:Alvabet. (halaman 109) (Rabu, 13 November 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar